Oleh : RH dan Wantoni SMSI Babel
Pangkalpinang, Warta Online– Fakta persidangan yang mengungkapkan adanya persetujuan dari mantan Pimpinan Cabang BRI Pangkalpinang, Ardian Hendri Prasetyo, atas penggunaan laporan keuangan bermasalah dalam pencairan kredit Rp 3,5 milyar di tahun 2018 pada CV Hayxellindo Putra Jaya (HPJ), harus ditindak lanjuti oleh pihak JPU ( Jaksa Penuntut Umum) dan itu harus menjadi atensinya.
Berdasarkan fakta persidangan itu, JPU harus melakukan penetapan tersangka baru terhadap Ardian.
“Fakta persidangan tersebut jelas mengungkapkan peran Ardian secara ril dan nyata atas penggunaan laporan keuangan bermasalah pada pencairan kredit yang ternyata juga akhirnya terjadi kredit bermasalah itu,” kata Apri
kata Apri yang juga penasehat hukum terdakwa Redinal dalam kluster Firman als Asak.
Dikatakan Apri walau Ardian selaku Pinca telah dinyatakan bebas pada pengadilan tingkat pertama yang lalu dalam kluster Aloy namun tidak bisa disamakan dengan perkara hukum kluster Firman.
Dalam kasus Firman jelas diakui sendiri oleh pihak BRI Kanwil Palembang yang menyatakan laporan keuangan yang bermasalah itu.
“Saksi justeru dari BRI sendiri. Kemudian dipertegas di muka sidang menjadi fakta persidangan. Sehingga tidak akan sulit bagi jaksa penuntut untuk mengembangkan lagi penyidikan perkara ini,” ujarnya.
Bilamana dikaitkan dengan prinsip 5C maka Ardian selaku pemutus kredit justeru dengan telak telah melanggarnya sendiri. 5C dimaksud adalah character, capacity, capital, collateral, condition.
Bahkan tidak sebatas 5C saja, tetapi dalam dunia perbankan terkait kredit seorang pimpinan –sekaligus pemutus- harus juga mengedepankan prinsip kecurigaan.
“Dalam pusaran perkara ini semestinya selaku pemutus yang sudah tahu kalau laporan keuangan si calon kreditur bermasalah maka tidak akan memutuskan untuk menyetujui kredit tersebut.
Kalau tidak seperti itu, untuk apa dia jadi pemutus kredit? Bukankah seorang pemutus harus mempertimbangkan segala dokumen serta pendapat/resume segala sesuatu yang disajikan oleh pihak-pihak internal terkait kredit –terlebih langsung atas analisis komite BRI Palembang,” jelas alumni hukum Universitas Bangka Belitung.
“Diharapkan juga jangan berlindung di balik kata tidak tahu. Karena faktanya jelas laporan keuangan tersebut bermasalah atas penilaian BRI sendiri. Seharusnya tidak bisa digunakan untuk kepentingan dokumen kredit apapun bagi calon debitur,” tegasnya.
Lebih dari itu, lanjutnya, bila dikaitkan tentang PMH (perbuatan melawan hukum) di situ seorang pimpinan Ardian –selaku pemutus- diduga kuat telah melanggar PATIHA (kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian). Bahkan dari fakta bukan lagi kelalaian tapi sudah termasuk kesengajaan.
“Dalam hal ini jaksa harus melakukan langkah berani, jangan terkecoh dengan bebasnya Pimpinan Cabang dan Pincapem dalam kluster lain. Hukum tetap harus ditegakan, demi rasa keadilan terutama bagi para terdakwa yang sedang diadili saat ini,” tegasnya.
Sebelumnya sidang beragenda pemeriksaan M Redinal Airlangga selaku terdakwa dalam pusaran perkara kredit modal kerja (KMK) kluster Firman als Asak telah menyingkap fakta baru yang cukup mengejutkan.
Di tahun 2018 saat Redinal selaku petugas account officer (AO) menangani perpanjangan kredit Firman yang diajukan senilai Rp 12 milyar.
Di muka sidang dengan hakim ketua Iwan Gunawan beranggota M Takdir dan Warsono terdakwa Redinal mengungkapkan pengajuan kredit sebesar itu tidak bisa diputuskan oleh BRI Pangkalpinang.
Melainkan harus terlebih dahulu diajukan oleh pimpinan BRI –saat itu- dijabat oleh Ardian Hendri Prasetyo kepada BRI kanwil Palembang.
“Firman mengajukan kredit 12 milyar, kalau kredit sebesar itu harus diajukan dulu ke BRI Kanwil Palembang,” kata Redinal.
Maka selanjutnya segala berkas-berkas pengajuan kredit dari Asak terutama terkait laporan keuangan dan rekening koran langsung dinilai oleh pihak BRI Palembang.
Alhasil, oleh pihak Kanwil BRI Palembang itu ternyata laporan keuangan perusahaan Firman tersebut miliki masalah. Endingnya, pengajuan kredit Rp 12 milyar tersebut ditolak als gagal total.
Penolakan Kanwil Palembang itu bagi seorang Firman tidak membuat putus asa. Suami dari Servia itu tetap mengajukan kredit namun terlebih dahulu menurunkan nilai yang menjadi Rp 3,5 milyar saja.
Oleh AO Redinal pengajuan pinjaman tersebut diproses kembali. Namun disinilah justeru timbul masalah besar di kemudian waktu.
Dimana ternyata terkait berkas laporan keuangan yang digunakan oleh Redinal –dalam memproses kredit Firman- masih yang lama. Tak lain adalah terkait berkas laporan keuangan CV Hayxellindo Putra Jaya yang telah ditolak –karena bermasalah- oleh pihak BRI Kanwil Palembang.
Di muka sidang dengan jaksa penuntut Eko Putra Astaman, Redinal secara berjibaku tak mau mengakui kesalahan tersebut. Menurutnya penggunaan berkas laporan keuangan –yang bermasalah itu- sudah sepengetahuan langsung dari pimpinanya yang tak lain adalah Ardian Hendri Prasetyo.
Apakah anda tidak mengkrosceknya lagi kalau itu laporan keuangan yang bermasalah, tanya Eko.
“Tidak. Karena sudah disetujui pak Ardian,” ucap Redinal.
Dari pengakuan Redinal juga terungkap kalau Ardian selaku pemutus kredit juga telah melakukan on the spot (OTS) pada agunan tambahan yang diklaim oleh Firman yakni berupa lahan sawit 70 hektar terletak di Batu Betumpang, Bangka Selatan.
Yang mana ternyata di kemudian waktu terungkap kalau bukan milik Firman melainkan orang lain yakni Bon Cit Kwe.
Ardian juga OTS ke sebuah perusahaan sawit di Bangka Selatan PT BSSP terkait piutang dari CV Hayxellindo Putra Jaya.